Selasa, 08 Juli 2014

Kamu, yang tak pernah terlintas


Diam diam aku memperhatikan tanggal, masih tanggal 3 ternyata, hmff, jauh sekali jika mengingat tanggal berapa kita akan bertemu. Kita. Ya, aku masih bersyukur masih bisa memanggil aku dan kamu dengan sebutan ‘kita’, Tuhan masih mengijinkan. Dan semoga tidak ada masa tenggangnya, semoga.
***
Aku masih ingat kapan pertama kali kita bertemu. Kita berada dalam 1 kegiatan yang sama. Ketika pembagian kelompok berjumlah 6 orang untuk mengerjakan suatu kegiatan, kamu berada 1 tim denganku, keberadaanmu belum membuatku ‘ngeh’ karena ketika ketua tim menyebutkan nama masing-masing orang, kamu belum datang, namun seketika 10 pasang mata kami dibuat menoleh dengan kedatanganmu yang tergopoh-gopoh. Ketika hanya ditanya nama pun kamu seperti pembalap moto gp yang buru-buru memasukki pit stop gara-gara hujan turun dan akhirnya harus mengganti ban kering dengan ban basah agar bisa tetap melanjutkan balapan, kamu menyebutkan nama dan alasan mengapa kamu terlambat dengan badan basah karena keringat bercampur hujan yang turun deras kala itu. Lucu.
Proses menuju pelaksanaan kegiatan pun berjalan, dari sana aku makin mengenal sifatmu yang ternyata anti dengan hal-hal yang berkaitan dengan kata ‘terlambat’ dan tahu alasan mengapa kamu seperti pembalap gp saat pertama kali bertemu dulu :)
6 bulan sudah namamu selalu membanjiri pesan masuk dan hatiku. Tidak ada yang salah dengan hubungan kita, hingga hari itu tiba. Kamu yang makin aneh dan makin tertutup denganku, setelah kudesak keluarlah pernyataanmu yang berkata harus berpindah domisili, diluar pulau. Menurutku jarak tak terlalu berarti jika kita sama-sama merasa saling memiliki. Itu pendapat awalku. Tapi situasi berkata lain, aku disibukkan dengan tugas-tugas semester baru dan kegiatan lain diluar kegiatan kampus, kamupun begitu, selain berusaha beradaptasi dengan lingkungan barumu, kamu juga tenggelam dengan bermacam kegiatan kampusmu. Aku baru ingat kalau kita tidak bisa dijauhkan dengan hal-hal berbau aktivis. Kita masih mengingkari  bahwa kita sudah jauh, terlalu jauh. Mungkin itu yang membuat kita dulu jatuh hati dan akhirnya melukai.
Kita akhirnya mengambil keputusan, dan berjanji di dalam hati untuk tak lagi mengingkari dan tak lagi melukai.
***
Sudah 2 tahun ini aku bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Kenangan akan kehidupan perkuliahan sesekali mampir di benakku ketika melihat beberapa mahasiswa yang sedang magang di kantor. Kenangan tentang sosok itupun muncul, seketika langsung kuhalau pikiran-pikiran nakal yang mulai hobi menggunakan kata ‘jika’ dan ‘andai’. Panggilan dari atasanku membuyarkan lamunan, aku baru ingat kalau siang ini aku harus presentasi mewakili kantorku, di jam makan siang dengan perusahaan cabang di kota besar lain. Perusahaanku akan membuat suatu BTS baru yang terletak di kota perusahaan cabang sehingga membutuhkan koordinasi yang matang antara kedua perusahaan.
Beberapa orang dari kantorku sampai duluan di sebuah rumah makan yang terletak di pusat kota itu. Sekitar 10 menit kemudian 5 orang dari kantor cabang sampai. Ketika akan memulai presentasi, bos dari kantor cabang celingukan seperti sedang mencari seseorang, dan akhirnya bertanya pada orang disampingnya dimanakah karyawannya yang bertugas menyampaikan presentasi hari itu. Aku dan temanku mulai bergumam kemanakah si karyawan yang sudah membuang waktu atasanku yang amat sangat sibuk itu hanya karena menunggu kehadirannya, “Maaf, mungkin bisa salah satu karyawan lain dari kantor cabang yang bisa mewakili menyampaikan presentasi kali ini?” pintaku gemes kepada mas-mas yang duduk di depanku, namun sebelum mas-mas itu menimpali pertanyaanku, si bos dari kantor cabang sudah meneriakan sesuatu kepada seseorang yang baru mendorong pintu masuk rumah makan itu, “SINI !“, sebelum kami hendak menoleh ke arah pintu, bos yang mempunyai tubuh tambun itu menambahkan lagi, “Emm, maaf semuanya, karyawan saya yang satu ini tidak biasanya telat begini, saya juga nggak tahu kenapa dia bisa telat kali ini”, “Sini Bar!”, seketika wajah kami semua yang ada di meja menoleh ke arah derap kaki seseorang yang terdengar sangat tergopoh-gopoh itu, orang itu masih menunduk sambil membenarkan rambut dan lengan kemejanya yang basah karena hujan yang tak kalah deras dengan hujan yang dulu turun ketika aku dan timku menunggu orang yang terlambat saat penyebutan nama oleh ketua timku jaman beraktivis saat kuliah dulu, ah sudahlah, aku juga bingung mengapa hari ini susah sekali kutepis pikiran yang kurasa sudah 2 tahun ini bersemayam aman di lapisan paling bawah otakku. Ketika karyawan yang baru datang itu menyebutkan namanya dan mulai menyapu pandangan ke orang-orang yang berada di meja itu, mata kami tertumbuk jadi satu. Namun dia masih melanjutkan perkenalannya dengan mataku yang berkedip tanpa henti sejak dia menyebutkan namanya. Bara. Ya, entah apa yang hendak Tuhan hadiahkan padaku hari itu, dari semua perusahaan cabang di seluruh Indonesia, dari seluruh karyawan yang bekerja pada perusahaan cabang yang mengerjakan proyek BTS dengan kantorku, dia yang terpilih. Dia yang mempunyai posisi yang sama denganku untuk mempresentasikan proyek ini. Dia yang aku masih ingat betul betapa aku belajar bagaimana menyampaikan presentasi yang baik di depan umum. Dia yang tatapan matanya masih seteduh hujan yang mengguyur musim kemarau yang panjang. Kenangan itu muncul lagi tanpa ampun di otakku dan kini mulai membentuk slide-slide bertema throwback. Aku tidak tahu kalau ternyata dia juga merasa presentasi yang sudah dipersiapkannya dengan tidak tidur selama berhari-hari dimuntahkan lagi ketika melihatku.
Proyek ini mengharuskan kami bertemu kembali. Proyek ini mengharuskan kami berkomunikasi lagi. Proyek ini juga yang membuat kami lega ternyata satu sama lain berhasil merawat diri kami hingga saat ini. Proyek ini juga yang membuat kami ingat umur kami sudah terlalu tua jika diingatkan tentang masa lalu.
Tuhan yang Maha Mengatur segalanya. Akankah aku dan dia menjadi aku dan kamu atau kita lagi...

07 Juli 2014 – 17.06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar